Senin, 09 Mei 2011

SOLUSI ALTERNATIF PENGGANTI TEMPE KEDELAI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Tempe adalah makanan khas Indonesia. Tempe merupakan sumber protein nabati yang mempunyai nilai gizi yang tinggi daripada bahan dasarnya (Anggrahini, 1983). Tempe dibuat dengan cara fermentasi, yaitu dengan menumbuhkan kapang Rhizopus oryzae pada kedelai matang yang telah dilepaskan kulitnya. Tempe dikonsumsi oleh sema lapisan masyarakat dengan konsumsi rata-rata perhari per orang 4,4 gr sampai 20,0 gr (Lindajati dkk, 1991). Tempe mempunyai nilai gizi yang tinggi. Tempe dapat diperhitungkan sebagai sumber makanan yang baik gizinya karena memiliki kandungan protein, karbohidrat, asam lemak esensial, vitamin, dan mineral. Nutrisi utama yang hendak diambil dari tempe adalah proteinnya karena besarnya kandungan asam amino.

Tempe merupakan salah satu produk hasil olahan kedelai (Glyicine max). kebutuhan terhadap kedelai dipenuhi melalui pertanian monokultur dengan penggunaan area pertanian kedelai yang luas. Akan tetapi, jumlah penduduk Indonesia yang terus meningkat, mengakibatkan kebutuhan terhadap kedelai sebagai sumber protein nabati terpaksa harus dipenuhi dengan mengimpor sekitar 1,8% per tahun. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Produksi Tanaman Pangan impor kedelai sejak tahun 1986 hingga 1999 menunjukkan peningkatan yang fluktatif. Peningatan impor kedelai tersebut ditunjukkan dalam Tabel 1.

Penggunaan sistem pertanian monokultur di Indonesia, yang merupakan sistemm pertanian yang diadopsi dari daerah subtropis, membawa persoalan lain bagi lingkungan hidup. Pertanian monokultur kedelai membutuhkan modal yang sangat tinggi karena harus menyediakan lahan kosong yang luas, pupuk, sarana dan infrastruktur irigasi, pestisida, dan lain sebagainya. Secara ekologis, sistem pertanian monokultur juga tidak sesuai dengan prinsip pertanian di daerah tropis sehingga menyebabkan kestabilan ekosistem terganggu. Akibat sistem monokultur, banyak spesies-spesies asli (indigenous) daerah tropis baik flora dan fauna serta mikroorganisme yang punah. Penyerapan unsur hara tertentu yang berlebihan dan terus-menerus menyebabkan terbentuknya lahan kritis. Dampak pestisida dan insektisida yang tidak ramah terhadap lingkungan juga dapat menyebabkan terakumulasinya toksin tersebut sampai taraf tropi tertinggi yaitu manusia. Dampak tersebut dapat dilihat dari meningkatnya penyakit kanker, tumor, kista rahim, dan gangguan lainnya akhir-akhir ini.

Permasalahan kebutuhan terhadap kedelai yang tinggi dan kegagalan pertanian untuk monokultur tersebut mendorong kita untuk mencari alternatif yang dapat memecahkan permasalah tersebut yaitu terpenuhinya sumber protein sekaligus tidak menambah daftar persoalan bagi ekonomi maupun lingkungan dan kesehatan.
Salah satu tanaman alternatif yang dapat mengatasi permasalahan tersebut adalah tanaman Saga pohon (Adenanthera pavonina). Tanaman tersebut merupakan pohon tahunan asli Asia Tenggara, India, dan Cina Selatan (Ria tan, 2001). Saga pohon (Adenanthera pavonina) berbeda dengan Saga rambat (Abrus precatorius) yang mengandung racun. Saga pohon memiliki bibji yang lebih besar berwarna merah terang, dengan batang pohon yang tinggi, dan aun yang lebih kecil.
Saga pohon mampu memproduksi biji kaya protein serta memiliki ongkos produksi yang murah. Hal tersebut karena penanaman Saga pohon tidak memerlukan lahan khusus karena bisa tumbuh di lahan kritis, tidak perlu dipupuk atau perawatan intensif. Selain itu, hama dan gulmanya minim sehingga tidak memerlukan pestisida, jadi bersifat ramah lingkungan karena dapat ditanam bersama tumbuhan lainnya. Kandungan protein yang terdapat pada biji Saga pohon tersebut juga lebh besar bila dibandingkan dengan kedelai dan beberapa tanaman komersil lainnya.

Di Indonesia, Saga pohon belum banyak dimanfaatkan ataupun dibudidayakan secara komersial. Tanaman tersebut biasa digunakan sebagai pelindng atau peneduh, karena pohonnya tinggi, daunnnya rimbun, dan batangnya keras atau kuat (Balai Informasi Pertanian, 1985). Padahal, Saga pohon seharusnya dapat menggantikan penggunaan kedeai sebagai bahan baku utama pembuatan tempe, karena kadar protein biji Saga pohon lebih besar dibandingkan kedelai (Tabel 2). Namun demikian, penggunaan biji Saga pohon sebagai tempe yang difermentasi oleh Rhizopu oryzae belum pernah dilakukan. Oleh karena itu penelitian peningkatan nilai guna biji Saga pohon sebagai bahan baku alternatif dalam pembuatan tempe perlu dilakukan uuntuk memperoleh data atau informasi yang jelas terhadap pemanfaatan biji Saga pohon tersebut nantinya.

1.1 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam makalah ilmiah ini akan diangkat permasalahan : “Bagaimana hasil yang diperoleh dalam pembuatan tempe berbahan baku Saga pohon lewat fermentasi Rrhizopus oryzae terhadap biji Saga Adenanthera pavonina ?”

1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mencari alternatif pemenuhan kebutuhan sumber protein nabati bagi penduduk Inonesia, tanpa merusak ekologi lingkungan hidupnya.

1.3 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah studi komparasi setelah dilakukan eksperimen. Sebelum melakukan komparasi terhadap eksperimental pembuatan tempe berbahan baku biji Saga pohon oleh Rhizopys oryzae (untuk selanjutnya penulis istilahkan dengan tempe Saga), dibuat suatu control positif berupa tempe berbahan baku kedelai (untuk selanjutnya penulis istilahkan dengan tempe kedelai). Gunanya untuk membandingkan hasil fermentasi Rhizopus oryzae terhadap biji Saga pohon dengan tempe kedelai yang memang sudah umum dikonsumsi.
Setelah produk tempe hasil fermentasi dari biji Saga pohon jadi, selanjutnya dilakukan studi komparatif kandungan protein dan tes organoleptik. Dalam studi komparatif kandungan kadar protein yang dibandingkan adalah waktu, warna, dan presentase protein. Sedangkan dalam tes organoleptik, penulis meminta orang lain sebagai responden untuk mencicipi tempe goreng hasil fermentasi dari biji Saga pohon tersebut, dan mencatat pendapat mereka kemudian menyimpulkannya.

1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, berisi latar belakang, masalah yang akan diteliti, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB 2 Telaah Pustaka, berisi rujukan-rujukan terkait Adenanthera pavonina.
BAB 3 Metode Penelitian, berisi langkah-langkah penelitian yang meliputi: waktu dan tempat penelitian, bahan dan alat, proses pembuatan tempe Saga, pelaksanaan penelitian, pengamatan penelitian, dan pengujian kadar protein.
BAB 4 Hasil dan Pembahasan, berisi gambaran umum hasil dari proses fermentasi biji Saga pohon, hasil uji nilai gizi protein pada Saga, dan hasil uji organoleptik.
BAB 5 Kesimpulan dan Saran, berisi kesimpulan penemuan hasil penelitian yang merupakan jawaban atas permasalahan serta mengacu kepada tujuan penelitian dan saran dari hasil penelitian tersebut.

BAB II
TELAAH PUSTAKA

2.1 Sifat-Sifat Botanis Saga (Adenanthera pavonina L.)
Tanaman Saga pohon dikenal dengan bermacam-macam nama antara lain bead tree, circassian bean, circassian seed, coral wood, crab’s eyes, false sandalwood, jumbie bead, readbead tree, red sandalwood, redwood (Inggris) : anikundumani, lopa, manjadi, raktakambal, Saga (India) ; Saga, Saga daun tumpul, Saga tumpil (Malaysia) ; kitoke laut, Saga telik, segawe sabrang (Indonesia) dan masih banyak nama daerah lainnya (International Centre for Research in Agroforestry, 2005).
Klasifikasi Saga pohon termasuk dalam Kerajaan Planta, Subkerajaan Tracheobionta, Superdivisi Spermathophyta, Divisi Magnoliophyta, Kelas MAgnoliopsida, Subkelas Rosidae, Ordo Fabales, Famili Fabaceae (Leguminosae), Genus Adenanthera, Spesies Adenanthera pavonina L. (United States Departemen of Agriculture, 2005).
Tanaman Saga Adenanthera pavonina, yang juga mempunyai nama antara lain Adenanthera Scheffer, Adenanthera polita Miq, menyukai pH sedikit asam, dapat tumbuh di seluruh daerah dataran rendah beriklim tropis dengan curah hujan 3000-5000 mm per tahun. Pada umumnya tinggi tanaman Saga pohon yang tua bisa mencapai 20-30 m (Gambar 2.1). Saga pohon termasuk tanaman deciduos atau berganti daun setiap tahun (International Centre for Research in Agroforestry, 2005).
Gambar 2.1 Pohon Saga Adenanthera pavonina
Daun majemuk menyirip genap, tumbuh berseling, jumlah anak daun bertangkai 2 - 6 pasang, helaian daun 6 - 12 pasang, panjang tangkainya mencapai 25 cm, daun berwarna hijau muda (Gambar 2.2). G
ambar 2.2 Daun Saga Adenanthera pavonina
Bunga kecil-kecil berwarna kekuning-kuningan, korola 4 – 5 helai, benang sari berjumlah 8 – 10 (Gambar 2.3) (Pasific Island Ecosistems at Risk, 2004).
Gambar 2.3 Bunga Saga Adenanthera pavonina
Polong berwarna hiau, panjangnya mencapai 15 sampai 20 cm (Gambar 2.4), polong yang tua akan kering dan pecah dengan sendirinya, berwarna coklat kehitaman (Gambar 2.5). Setiap polong berisi 10 – 12 butir biji. Biji dengan garis tengah 5 – 6 mm, berbentuk segitiga tumpul, keras dan berwarna merah mengkilap (Gambar 2.6) Stone, 1970 yang dikutip Topilab, 2005).
Gambar 2.4 Polong Saga pohon yang sudah tua
Di daerah oriental, saga pohon dimanfaatkan untuk makanan, obat-obatan, meubel, dan kayu bakar. Biji Saga pohon yang merah terang digunakan untuk perhiasan dan kadang-kadang untuk makanan. Di Karibia, pohon Saga Adenanthera pavonina yang memproduksi biji yang merah terang ini dikenal oleh mereka sebagai “tasbih”. Mereka juga menyebutnya biji “Circassian”. Celupan merah yang mereka peroleh dari kayu tersebut digunakan oleh suku Brahmins untuk menandai dahi mereka sebagai simbol agama.

2.2 Kandungan Biji Pada Saga (Adenanthera pavonina I.)
Analisa menunjukkan bahwa pada biji Saga pohon (Adenanthera pavonina) memiliki kandungan gizi sebagai berikut.
Di dalam biji Saga pohon terkandung sejumlah protein, yaitu (2,44 g/100g), lemak (17,99 g/100 g), dan mineral, diambil dari perbandingan kebiasaan masyarakat mengkonsumsi makanan pokok. Mengandung gula yang rendah (8,2 g/100 g), tajin (41,95 g/100 g), dan zat penyusun lainnya adalah karbonhidrat (Pasific Island Ecosistems at Risk).
Kandungan anti nutrisi yaitu methionine dan cystine, yang merupakan jenis asam amino yang terdapat dalam tingkat yang rendah. Sedangkan total asam yang mengandung lemak, yaitu asam linoceic dan oleic mengandung 70,7 %.
Jumlah asam lemak bebas yang terkandung pada Saga pohon relative tinggi terutama peroksida dan saponification yang terkandung senilai 29,6 mEqkg dan 164,1 mgKOHg, hal ini menunjukkan suatu kemiripan kandungan minyak pada makanan. Dapat disimpulkan bahwa biji Saga pohon menghadirkan suatu sumber potensi minyak dan protein yang bisa mengurangi kekurangan sumber protein nabati. (Sumber: Pasific Island Ecosistems at Risk).

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian pada fermentasi biji Saga pohon (Adenanthera pavonina) oleh Rhizopus oryzae dilaksanakan pada tanggal 7 Mei sampai dengan tanggal 12 Mei 2007, yaitu di kediaman rumah penulis. Pelaksanaan pengujian protein pada tempe Saga dilaksanakan pada tanggal 27 Mei 2007 di Laboratorium Sekolah Menengah Teknik Industri (SMTI) Bandar Lampung.

3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian fermentasi Rhizopus oryzae terhadap biji Saga pohon ini adalah 2 gram ragi tempe (Rhizopus oryzae) untuk masing-masing fermentasi kacang kedelai, dan satu kilogram biji Saga pohon. Sedangkan alat yang digunakan dalam melakukan fermentasi biji Saga pohon yaitu :baskom, air, kompor, panic, sendok, centong, plastik, pisau, rak llemari, alas kain, dan lain-lain.

3.3 Proses Pembuatan Tempe Saga
Langkah-langkah pembuatan tempe Saga adalah sebagai berikut:
1. Menyiapkan biji Saga pohon sebanyak 1 kilogram dan ragi tempe (Rhizopus oryzae) sebanyak 2 gram.
2. Mencuci bersih biji Saga pohon untuk menghilangkan kotoran pada kulit biji.
3. Merebus terlebih dahulu biji Saga pohon selama kurang lebih 40 menit untuk menghilangkan rasa langu.
4. Karena kulit biji Saga pohon yang keras dan dilapisi oleh lilin yang menyebabkan kulit biji Saga pohon kedap terhadap air dan gas, maka biji Saga pohon perlu direndam selama kurang lebih 36 jam untuk lebih memudahkan dalam melepaskan kulit arinya.
5. Mulai meremas-remas biji Saga pohon agar kulit arinya terlepas.
6. Setelah bersih, biji Saga pohon ditungkan kedalam panic dan diberi air secukupnya, kemudian mengukus biji biji Saga pohon selama kurang lebih 30 menit.
7. Setelah dikukus selama 30 menit, air yang tersisia didalam panci dibuang, kemudian panci yang tinggal berisikan biji Saga ditaruh kembali di atas kompor sambil diiaduk-aduk supaya jangan sampai hangus. Proses ini dilakukan untuk mengeringkan biji Saga pohon.
8. Biji Saga pohon dituangkan ke wadah yang memudahkan untuk menjadi dingin.
9. Setelah dingin, ragi tempe sebanyak 2 gram ditaburkan dan aduk rata.
10. Menyiapkan plastik dengan ukuran sesuai selera kemudian biji Saga pohon dimasukkan kedalam plastik hingga ketebalan kira-kira 2-3 cm.
11. Menutup plastik, dapat menggunakan api lilin untuk menutup plastik.
12. Plastik yang telah berisi biji Saga pohon dilubangi dengan menggunakan pisau kira-kira 8 lubang untuk setiap sisi atas dan sisi bawah.
13. Tempe disimpan didalam lemari dengan mempergunakan lemari dapur. Alas yang dipakai untuk menyimpan adalah rak lemari yang diganjal bagian bawahnya, sehingga ada sirkulasi udara.
14. Tempe didiamkan kurang lebih selama 36 jam. Untuk diudara dingin, tempe kadang dibalut dengan handuk, agar lebih hangat sebelum dimasukkan ke dalam lemari.
15. Setelah 36 jam, tempe siap di olah.

3.4 Pelaksanaan Penelitian
Penelitian fermentasi Rhizopus oryzae pada Saga Adenanthera pavonina dilaksanakan pada siang hari, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan sinar matahari yang cukup dalam melakukan pembuataan tempe Saga. Sebelum melaksanakan pembuatan fermentasi pada biji Saga pohon maka terlebih dahulu yang harus diperhatikan adalah soal kebersihan. Untuk mendapatkan hasil produk tempe Saga yang terbaik maka dalam prosedur pembuatannya lebih baik melakukan penanakan sebanyak 2 kali, yaitu proses perebusan terlebih dahulu kemudian proses kedua adalah pengukusan.

3.5 Pengamatan Penelitian
Pengamatan dilakukan pada saat fermentasi Rhizopus oryzae terhadap biji Saga pohon. Pada saat pengamatan, kondisi fermentasi seperti suhu ruang, tempat, cahaya (terang atau gelap) harus dicatat dan dilakukan pengamatan pada jam-jam tertentu yang telah diatur. Selama dalam pengamatan, pertumbuhan jamur dan kekompakan (penyatuan hifa jamur dengan biji Saga pohon) dicatat. Selama fermentasi diusahakan ada sampel yang tidak dibuka-buka, karena fermentasi lebih banyak memerlukan kondisi anaerob daripada aerob, dengan membuka-buka sampel juga berarti menyediakan kondisi aerob.
3.6
Pengujian Kadar Protein
Untuk mengetahui keberadaan seberapa besar protein yang terkandung pada tempe Saga, maka diadakan pengujian protein pada tempe Saga dengan Saga dengan cara tritrasi formol yang langkah-langkahnya diterangkan sebagai berikut:
Penentuan Kadar Protein. Cara tritrasi formol.
1. Memindahkan 10 gr Saga pohon ke dalam Erlenmeyer 125 ml dan menambahkan 20 ml aquades dan 0,4 l larutan k-oksalat jenuh (K-oksalat=1:3) dan 1 ml Phenolphthlein 1%. Kemudian mendiamkan selama 2 menit.
2. Men-titrasi larutan contoh dengan 0,1 N NaOH sampai mencapai warna seperti warna merah jambu.
3. Warna standar : 10 gr tempe Saga + 10 ml aquades + 0,4 ml K-oksalat jenuh.
4. Setelah warna tercapai, ditambahkan 2 ml larutan formalheid 40% dan dititrasi kembali dengan larutan NaOH sampai warna seperti warna standar tercapai lagi. Hasil titrasi kedua ini harus dicatat.
5. Dibuat titrasi blanko yang terdiri dari 20 ml aquades + 0,4 ml larutan K-oksalat jenuh + 1 ml indicator phenolphthalein (PP) + 2 ml larutan formalheid ; dan titrasi dengan larutan NaOH.
Titrasi terkoreksi yaitu titrasi kedua dikurangi titrasi blanko yang merupajan titrasi formol. Supaya mengetahui perentase protein tempe saga, harus dibuat percobaan serupa dengan menggunakan larutan yang telah diketahui kadar proteinnya.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Keberhasilan Proses Fermentasi Saga Adenanthera pavonina.
Proses fermentasi Saga Adenanthera pavonina berhasil terjadi dalam waktu 36 jam yag ditunjukkan dengan terjadinya kekompakan (menyatunya hifa jamur Rhizopus oryzae dengan biji Saga Adenanthera pavonina).
Gambar 4.1. Tempe Saga yang berhasil terbentuk.
4.2 Uji Nilai Gizi Protein pada Tempe Saga Pohon.
Dari hasil pengujian kandungan gizi protein terhadap tempe Saga dengan menggunakan metode titrasi formol maka didapatkan hasil kandungan protein tempe Saga sebesar 22,41 %, sedangkan kandungan protein tempe kedelai sebesar 18 % (Haryoto, 2000).
Perhitungan dengan metode titrasi formol adalah dengan rumus sebagai berikut:
% N = titrasi formolx N. NaOh x 14,008gr bahan x 10
Volume titrasi pertama = 1 ml
Volume titrasi blanko = 1 ml
Volume titrasi kedua = 2,6 ml
Jadi,
% N =( 2.6 ml - 1 mlx 0,1 N x 14,008)/100
= 22,41 % kadar protein tempe
Jadi, di dalam tempe Saga terkandung kadar protein sebanyak 22,41 %. Sedangkan pada tempe kacang kedelai mengandung kadar protein sebanyak 18 % (Haryoto, 2000).

4.3 Uji Organoleptik.
Setelah melakukan eksperimen fermentasi Rhizopus oryzae terhadap biji Saga pohon, maka perlu dilakukan komparatif dan tes organoleptik untuk lebih membktikan kandungan gizi dan rasa dari tempe Saga.
Untuk tes organoleptik, penulis meminta beberapa orang untuk menjadi responden dengan merasakan tempe goreng hasil fermentasi dari biji Saga pohon tersebut, kemudian ditanya responnya.
Dari 13 orang responden, yang mengatakan bahwa tempe Saga lebih lembut daripada tempe kedelai sebanyak 84,6 % atau 11 orang. Sedangkan enak atau unik daripada tempe kedelai, dan sebanyak 38,46 % atau 5 orang berpendapat bahwa tempe Saga memilliki rasa yang sama seperti tempe kedelai. Namun, sebnyak 76,9 % atau 10 orang mengatakan bahwa tempe Saga memiliki bau yang langu atau bau lebih menyengat daripada tempe kedelai.
Untuk menetapkan persentase (%) pendapat dari responden, dapat dihitung menggunakan rumus :
Persen pendapat = (A/B) x 100 %
Keterangan :
A : Jumlah orang yang memilih.
B : Keseluruhan jumlah responden (13 orang).

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah penulis lakukan selama proses pembuatan tempe dari fermentasi biji Saga pohon oleh Rhizopus oryzae, maka penulis dapat menyimpulkannya sebagai berikut:
1. Prosedur proses fermentasi biji Saga pohon.
a. Karena kulit Saga pohon yang keras dan dilapisi oleh lilin sehingga bijinya kedap terhadap air, maka dalam proses perendaman dan perebusan serta pengukusannya dibutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan proses pembuatan tempe dari kacang kedelai.
b. Biji Saga pohon memiliki warna yang sama dengan kacang kedelai yaitu berwarna coklat setelah melewati proses perebusan.
c. Namun, dalam masalah rasa biji Saga pohon tidak kalah dengan kacang kedelai dan lebih lembut.
d. Bentuk biji Saga pohon terlihat agak gepeng dan lebih besar dibandingkan dengan kacang kedelai yang mempunyai biji lebih kecil dan bulat.
2. Pada saat fermentasi tempe saga,
a. Dalam waktu 12 jam dan 24 jam, belum terjadinya penyatuan hifa-hifa jamur dengan biji Saga pohon. Namun, setelah jam-jam berikutnya terjadi kekompakan hifa dengan biji Saga pohon. Fermentasi biji Saga pohon dengan Rhizopus oryzae berhasil terjadi.
b. Waktu selesai terbentuknya tempe dari biji Saga pohon relatif sama dengan waktu selesainya tempe dari kedelai yaitu 36 jam.
3. Kelebihan tempe Saga dibandingkan tempe dari kedelai.
a. Tempe dari biji Saga pohon lebih lembut daripada tempe dari kedelai.
b. Tempe Saga tidak cepat menjadi tempe busuk dan dapat disimpan selama 2 minggu di dalam lemari es.
c. Daya tahan biji Saga pohon jauh lebih kuat dan tahan lama dari biji kedelai karena biji Saga pohon dilindungi oleh kulit yang keras dan kedap air.
4. Pengujian nilai gizi dan pengujian Organoleptik.
a. Setelah dilakukan pengujian kandungan kadar protein, ternyata tempe Saga memiliki kandungan kada protein yang cukup tinggi di dalamnya yaitu sekitar 22,41 %. Sedangkan pada tempe kedelai henya memiliki kandungan kadar protein sebanyak 18 %.
b. Dalam pengujian organoleptik secara kuantitatif, didapatkan hasil bahwa sebanyak 84,6 % responden mengatakan tempe Saga lebih lembut daripada tempe kedelai, sebanyak 76,9% responden mengatakan tempe Saga memiliki rasa yang enak atau unik daripada tempe kedelai, sebanyak 38,46% responden mengatakan bahwa tempe Saga memiliki rasa yang sama seperti tempe kedelai, dan sebanyak 76,9% responden mengatakan tempe Saga memiliki bau yang langu atau bau yang lebih menyengat daripada tempe kedelai.

5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut.
1. Sebaiknya pembudidayaan Saga pohon (Adenanthera pavonina)di Indonesia lebih ditingkatkan karena Saga pohon dapat dijadikan bahan alternatif pembuatan tempe yang kandungan proteinnya tidak kalah dengan kedelai.
2. Hendaknya masyarakat lebih dikenalkan dengan tempe Saga, sehingga minat konsumsi masyarakat menjadi lebih baik terhadap tempe Saga.
3. Pemanfaatan lahan kritis dengan menanam pohon Saga Adenanthera pavonina sebagai sumber pangan potensial.Mengurangi sistem pertanian monokultur yang membahayakan ekosistem lingkungan hidup dan membutuhkan biaya yang tinggi.

0 komentar:

Posting Komentar